NMT, Pilihan Untuk Sehat

Pola dan kebiasaan hidup bertransportasi menggunakan kendaraan pribadi ternyata berkorelasi langsung dengan permasalahan kesehatan dan kualitas hidup. Untuk itu, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengajak masyarakat mengubahnya demi kualitas hidup sehat.

Kepala BPTJ, Polana B Pramesti mengatakan, kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari membuat masyarakat cenderung kurang bergerak. Akibatnya, masyarakat urban mudah dihinggapi penyakit non infeksi misalnya diabetes, stroke, dan jantung. Dampak lain dominannya penggunaan kenderaan pribadi adalah semakin memburuknya kualitas udara.

Dengan beralih menggunakan angkutan umum massal, berjalan kaki serta bersepeda, selain akan berdampak positif terhadap kesehatan pribadi juga akan membuat kondisi udara yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Transportasi umum sebagai budaya baru

Polana menyebutkan, seandainya masyarakat mau mengubah pola transportasinya, yaitu dari naik kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum massal dan berjalan kaki serta bersepeda/Non-Motorized Transportation (NMT), maka kehidupannya akan jauh lebih sehat.  “Gerakan Jalan Hijau” ini bukan hanya akan membuat ancaman berbagai penyakit non infeksi bisa diminimalisir, tetapi juga menciptakan kondisi ramah lingkungan. Hal ini, menurut Polana, secara langsung akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat urban di Jabodetabek.

Menurutnya, penggunaan angkutan umum massal bukan hanya sekedar sudah naik KRL, MRT, LRT atau BRT seperti Transjakarta akan tetapi di dalamnya terdapat pula NMT, baik tahapan first mile yaitu dari titik awal berangkat menuju angkutan umum massal maupun last mile yaitu perpindahan dari angkutan umum massal menuju titik terakhir tujuan dengan berjalan kaki atau bersepeda.

Dengan demikian, lanjut dia, tujuan dari penggunaan angkutan umum massal yaitu sustainable transport dapat terpenuhi termasuk dampak kesehatan dan lingkungannya. “Jika ini terwujud akan menjadi kontribusi yang luar biasa untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan,” imbuhnya.

Polana menambahkan, pemanfaatan NMT secara langsung mendorong masyarakat untuk aktif secara fisik dan meninggalkan kendaraan bermotor. Aktivitas fisik akan menyehatkan jasmani sehingga dapat terhindar dari penyakit non infeksi yang saat ini di Indonesia jumlah penderitanya terus bertambah akibat masyarakat kurang bergerak.

“Selain itu secara empirik terbukti bahwa tingkat polusi di Jabodetabek yang bersumber dari transportasi cukup parah dan kondisi ini membahayakan kita semua. Untuk itu, salah satu jalan keluarnya adalah semaksimal mungkin menggunakan angkutan umum massal dan NMT serta mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” tegasnya.

Dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2029, BPTJ menargetkan sebanyak 60 persen pergerakan warga di Jabodebatek sudah harus menggunakan angkutan umum massal pada 2029. “Oleh karena itulah sasaran utama kampanye naik angkutan umum dan NMT menyasar kaum millenial dan generasi di bawahnya -Generasi Z dan Alpha- karena mereka lah nanti yang akan mendominasi aktivitas kehidupan metropolitan Jabodetabek ini pada 2029,” kata Polana.

Adapun guna merealisasikan penggunaan angkutan umum massal di Jabodetabek, BPTJ memperluas penerapan program Buy The Service (BTS) di Jabodetabek, dengan Kota Bogor sebagai kota percontohan. “Pemilihan Kota Bogor sebagai percontohan didasarkan pada komitmen Pemerintah Daerah dan kesiapan koordinasi untuk pelaksanaan serta penetapan koridor,” terang Polana.

Karena itu, agar Gerakan Kampanye Jalan Hijau yang telah diusung BPTJ sejak 2019 lebih mudah diterima publik, BPTJ memandang perlu untuk mensinergikannya dengan isu-isu publik lainnya seperti isu kesehatan yang erat kaitannya dengan permasalahan transportasi perkotaan.

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp