kit dari Segudang Keunikan Timika

Timika, merupakan jantung wilayah mineral penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia. Selain memiliki kekayaan alamnya, Timika memiliki segudang keunikan yang selalu membuat kita kagum. Dimulai dari keanekaragaman budaya, kerajinan tangan dan tentu kulinernya yang sangat unik.

Sate Ulat Sagu

Salah satu kuliner unik nan ekstrim tersaji di Timika adalah Ulat Sagu. Ulat Sagu merupakan salah satu kuliner khas Suku Kamoro di pedalaman Timika, Papua. Biasanya masyarakat asli Papua menyajikan Ulat Sagu dalam keadaan mentah tanpa dimasak. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat sekitar mulai mengolah Ulat Sagu ini menjadi Sate Ulat Sagu, atau masyarakat setempat biasa menyebutnya “Koo”.

 

Cara membuat sate dari Ulat Sagu ini, tak berbeda dengan membuat sate pada umumnya, yaitu ditusuk dan dipanggang di atas bara api. Setelah matang, Sate Ulat Sagu ini pun siap dihidangkan dengan bumbu sate. Masyarakat Papua, khususnya Timika, biasa menyantap Sate Ulat Sagu dengan papeda atau roti sagu yang mereka hasilkan dari pohon sagu di hutan.

 

Tak seekstrim yang dibayangkan, ternyata rasanya manis dan asin. Teksturnya keras di luar, lunak di dalam, serta renyah setelah dipanggang. Konon, daging yang ada di dalamnya mengandung protein tinggi dan kadar kolesterol yang rendah.

 

Kandungan gizi dari Ulat Sagu cukup lengkap. Setiap 100 gr Ulat Sagu mentah mengandung protein sekitar 9,34%, juga terdapat beberapa kandungan asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%), tirosin (1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%).

 

Dengan tekstur yang lunak, sedikit kenyal dan manis serta memiliki gizi yang tinggi. Tak heran jika masyarakat sekitar memang sangat menyukai makanan satu ini. Buat Anda yang berjiwa petualang dan ingin berkunjung ke Timika, kuliner Sate Ulat Sagu sangat wajib untuk dicicipi!

 

Kepiting Karaka

Bagi Anda yang tidak mau menikmati makanan ekstrim di Timika, tidak perlu cemas. Perkampungan Suku Kamoro yang letaknya sekitar 12 Km dari Kota Timika, Mimika Papua, ternyata menyimpan kekayaan wisata kuliner yang beraneka ragam. Suku Kamoro yang tinggal di pesisir dan dikelilingi rawa-rawa banyak menghasilkan aneka kuliner yang menggiurkan lidah kita. Salah satunya adalah kepiting raksasa dan masyarakat setempat menamainya Karaka.

 

Masyarakat setempat banyak membudidayakan Karaka dan dijual ke kota Mimika. Karaka dibungkus dengan daun pisang kemudian dibawa ke Kota Mimika dengan berjalan kaki hingga sampai ke rumah makan seafood di Kota Mimika. Satu ekor Kepiting Karaka biasanya memiliki berat mencapai 1 kg.

 

Karaka memiliki kandungan lemak yang rendah (sekitar 1gr/100gr) dan asam lemak jenuhnya juga rendah (0.1gr/100gr) dan kaya akan omega-3. Karaka dihidangkan dengan cara direbus atau dibakar lalu disiram dengan saus ala masyarakat setempat dengan berbagai rempah-rempah yang ada di daerah tersebut.

 

Rasanya boleh diadu! Bisa Anda bayangkan, capit dan cangkangnya setelah dibuka, daging putih lembut nan lezat itu akan menggoda selera. Aroma rempah-rempah yang melapisinya membuat Anda bergoyang lidah. Warna merah kecoklatan dari cangkangnya tentu semakin menambah daya tarik dan selera.

 

Noken Khas Papua

Sumber daya alam di Timika tidak melulu tentang emas. Kekayaan alam di hutan Papua juga memberikan manfaat besar bagi masyarakat Papua. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber daya alam yakni serat kayu sebagai bahan dasar pembuatan Noken atau tas serbaguna khas Papua. Noken telah melekat dalam budaya orang Papua sejak zaman dahulu kala.

 

Biasanya, Noken digunakan untuk membawa barang hasil pertanian atau pun dagangan yang akan dijual di pasar. Membawa tas ini berbeda dengan tas pada umumnya. Orang Papua menggunakan Noken dengan menggantungkannya di kepala.

 

Yang menarik lagi adalah pembuatannya. Semua dilakukan secara manual. Tanpa alat. Untuk mengerjakan satu tas noken kecil saja diperlukan waktu yang tidak sebentar, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu lamanya. Rumitnya pembuatan Noken selain karena digunakan secara manual, pengrajin juga harus mencari serat-serat kayu terbaik–biasanya serat kayu pohon nawa atau anggrek hutan–sebelum diolah, dikeringkan, dipilah-pilah serat-seratnya dan kemudian dipintal menjadi semacam tali benang.

 

Lain lagi soal ketetapan adat setempat yang membuat Noken ini semakin bernilai tinggi, Noken hanya boleh dibuat oleh kaum hawa. Sejak kecil, “mama-mama” (kaum wanita .red) sudah diajarkan merajut serat-serat kayu ini untuk dijadikan Noken.

 

Meskipun sering digunakan masyarakat asli Papua, kita tidak akan sulit menemukan Noken untuk dijadikan cindera mata. Di jalan-jalan Timika kita akan melihat mama-mama merajut serat-serat kayu untuk dijadikan Noken sembari memajang Noken-noken yang siap untuk dijual dengan varian bentuk dan harga. Noken tersebut bisa Anda jadikan sebagai buah tangan khas Papua.

 

Untuk satu tas Noken kecil, dijual dengan harga Rp 100 Ribu, ukuran menengah dijual seharga Rp 200 Ribu, dan untuk ukuran besar dihargai mencapai Rp 1 Juta. Tentu harga yang sangat wajar jika melihat proses pembuatannya yang jauh dari kata mudah ditambah keaslian Papua yang masih sangat terasa. 

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp