“Menjenguk” Mak Itam

Mak Itam, lokomotif hitam bernomor seri E1060 itu adalah legenda Sumatera Barat. Mak Itam menjelma sebagai simbol kejayaan tambang batu bara Kota Sawahlunto.

Mak Itam yang bermakna “Paman Hitam” adalah julukan yang diberikan masyarakat Minangkabau kepada sang legenda transportasi pertambangan batu bara di Sawahlunto ini. Nama tersebut diberikan karena “tubuh”nya berwarna hitam serta asap pekat yang keluar dari lokomotif keluaran Eropa itu. Mak Itam merupakan generasi lokomotif uap di masa akhir kejayaannya pada 1965-1966. Generasi pertama jenis lokomotif ini adalah generasi 1926 buatan Esslingen di Jerman.

Mak Itam adalah ikon bagi perkeretaapian Sumatera Barat. Sosoknya yang melaju di atas rel masih membekas di kenangan masyarakat Sawahlunto. Dengan gagah, Mak Itam sang legendaris membawa serangkaian gerbong yang berisi batu bara melintas di jembatan kereta api Padang Panjang. Jembatan ini membentang dari Lembah Anai menuju ke Pelabuhan Emmahaven di Padang, atau yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Teluk Bayur.

Lokomotif uap itu menjadi ikonik, tidak hanya karena desain dan asap pekatnya yang dikeluarkan melalui mesin uap. Mak Itam juga tampil sebagai simbol kejayaan tambang batu bara di Kota Sawahlunto. Mak Itam digunakan untuk mengangkut batu bara dari tambang Ombilin di Kota Sawahlunto, yang pada puncak kejayaannya era 1970-an mampu memproduksi lebih dari sejuta ton batu bara per tahun. Lokomotif Seri E1060 ini digunakan membawa berton-ton batu bara menuju Pelabuhan Emmahaven untuk akhirnya dibawa oleh kapal yang bersandar di pelabuhan tersebut.

Dengan membawa batu bara dari Kota Sawahlunto, Mak Itam menembus terowongan sepanjang 828 meter yang disebut sebagai Lubang Kalam menuju Stasiun Muarakalaban yang kemudian melewati Stasiun Solok. Selanjutnya, rangkaian kereta tersebut menyusuri Danau Singkarak menuju ke Stasiun Batu Tabal hingga ke Stasiun Kayu Tanam menuju stasiun terakhir di Teluk Bayur.

Salah satu keunikan dari Mak Itam mampu digunakan di jalur kereta bergerigi yang terdapat dari Stasiun Batu Tabal di Tanah Datar ke Stasiun Padang Panjang hingga Stasiun Kayu Tanam di Padang Pariaman, yang harus melewati jalur agak terjal karena membelah lembah. Dikarenakan kondisi geografis Sumatera Barat yang berbukit-bukit, maka jalur kereta bergerigi dimaksudkan untuk menahan agar lokomotif uap berseri E1060 ini tidak mengalami kesulitan saat menanjaki jalur terjal dengan tingkat kecuraman 8 persen. Rel bergerigi diletakkan di tengah-tengah rel, sementara roda gigi yang terdapat di lokomotif Mak Itam bertugas mengait rel bergerigi yang ada di bawahnya.

Jika tidak ada roda gigi tersebut, Mak Itam hanya bisa mendaki dengan kecuraman 5 persen, artinya kenaikan 5 meter setiap jarak horisontal 100 meter, itupun akan menanjak dengan penuh kesulitan. Oleh karena itu, penggunaan roda gigi memungkinkan kecuraman hingga 65 persen dapat dilalui meskipun dengan kecepatan rendah 10 km/jam, dan pada saat menurun roda gigi berfungsi untuk menahan kecepatan kereta api.

Sejatinya, jalur tersebut telah lahir lebih dulu daripada Mak Itam yang dilakukan oleh Belanda karena alasan yang cukup pragmatis, yaitu menghemat biaya.

Istirahat

Seiring berjalannya waktu, Mak Itam tersingkir dan digantikan oleh lokomotif yang lebih cepat dan canggih. Akhirnya, seri E1060 sang ikon kereta api Sumatera Barat ini dibawa ke Jawa Tengah untuk bertemu saudaranya di Ambarawa pada 1988. Kemudian, pada Desember 2007, Mak Itam kembali ke pangkuan Kota Sawahlunto.

Setelah Pemerintah Kota Sawahlunto meminta PT Kereta Api Indonesia (KAI) membawa sang Paman Hitam kembali ke Sumatera Barat, maka sejak saat itu sang pembawa batu bara beralih fungsi menjadi kereta api wisata dengan menggunakan jalur Sawahlunto – Muarakalaban. Lokomotif hitam ini kembali membawa kegembiraan, seakan kembali bernostalgia akan kejayaan di masa lalu. Bahkan, lokomotif itu pernah digunakan untuk ajang sepeda tahunan bergengsi Tour de Singkarak pada 2012.

Akan tetapi, kini kondisi lokomotif hitam itu hanya diam, tidak bergerak bahkan tidak berada di rel, tersimpan di depo di pojok Museum Kereta Api Sawahlunto karena kerusakan pada sistem pemanas air.

Di Museum Kereta Api ini tersimpan literatur tentang lokomotif uap dan sejarah perkeretaapian di Sawahlunto. Disini akan ditemukan replika lokomotif Mak Itam berukuran kecil, jam kuno, hingga ketel-ketel uap. Di museum ini juga menjadi tempat peristirahatan Mak Itam. Di salah satu ruangan penyimpanan museum, di situlah Mak Itam berada dengan tetap diberikan perawatan oleh petugas museum.

Meskipun saat ini Mak Itam diistirahatkan, tetapi Mak Itam tetap bisa “dijenguk” oleh pengunjung yang datang ke museum. Gerbong kayu yang biasa ditarik Mak Itam membawa penumpang pun masih tersimpan berjajar di sampingnya. Museum Kereta Api di Sawahlunto merupakan satu-satunya museum kereta di Sumatera Barat, serta museum kereta kedua tertua di Indonesia.

Mak Itam sempat kembali muncul ketika secara resmi Tambang Ombilin di Sawahlunto resmi menjadi warisan budaya dunia UNESCO pada Juli 2019. Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Sawahlunto bertekad menggunakan momen tersebut untuk secara nyata mengubah fungsinya dari kota pertambangan menjadi kota wisata dengan keunikan sejarahnya sebagai tambang batu bara tertua di kawasan Asia Tenggara.

Mak Itam, sebagai bagian tidak terpisahkan dari kisah era kejayaan pertambangan batu bara di Sawahlunto tentu akan menjadi bagian dari transformasi tersebut. Diharapkan, jalur kereta api Sawahlunto hingga Pelabuhan Teluk Bayur bisa segera diperbaiki hingga 1 Desember 2021 agar bisa ditetapkan sebagai warisan provinsi dan nasional oleh UNESCO.

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp