Pelayaran Nasional Menuju Zero Accident

Transportasi laut memiliki peran strategis sebagai simpul konektivitas yang menjembatani ribuan pulau di perairan Indonesia beserta keberagaman budaya, bahasa, suku, agama, dan ras di dalamnya. Untuk mengejawantahkan peran strategis tersebut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) secara konsisten menyelenggarakan transportasi laut melalui pelayaran yang selalu mengedepankan aspek keselamatan dan keamanan.

Penyelenggaraan pelayaran merupakan suatu kesatuan sistem yang mencakup angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan. Dengan demikian, keselamatan dan keamanan pun menjadi sebuah kebutuhan mutlak dalam pelayaran.

Urgensi keselamatan dan keamanan pelayaran telah diamanahkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Sesuai undang-undang tersebut, keselamatan dan keamanan pelayaran merupakan suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang mencakup angkutan di  perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim.

Terciptanya keselamatan dan keamanan pelayaran membutuhkan dukungan sarana dan prasarana, pengaturan alur pelayaran, serta pemberian informasi cuaca. Penegakan hukum dan peran aktif masyarakat dalam mengawasi keselamatan pelayaran juga menjadi faktor penting yang mendukung terwujudnya zero accident.  

Untuk itu, keselamatan dan keamanan pelayaran bukan semata tanggung jawab Kementerian Perhubungan selaku regulator dan penyelenggara transportasi di Tanah Air. Melainkan, tanggung jawab bersama yang membutuhkan sinergi seluruh pihak, mulai dari operator, penyedia jasa pelayaran dan kepelabuhanan, hingga pengguna jasa transportasi laut.

Kelaiklautan dan Kenavigasian

Dalam operasionalnya, setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia, baik kapal berbendera Indonesia maupun asing, wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan serta perlindungan terhadap lingkungan maritim. Persyaratan tersebut mencakup dua aspek keselamatan, yaitu Kelaiklautan Kapal dan Kenavigasian.

Kapal yang telah memenuhi kelaiklautan akan dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal. Salah satunya, Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang diterbitkan Syahbandar Pelabuhan setempat. Dengan SPB, kapal diizinkan untuk berlayar.

Dengan terpenuhinya persyaratan kelaiklautan kapal, akan terselenggara angkutan laut yang aman, lancar, nyaman, teratur, dan efisien. Sebaliknya, kapal tak laiklautan yang berlayar dapat berisiko mengalami kecelakaan.

Upaya pengelolaan aspek kelaiklautan kapal juga dilaksanakan Kemenhub melalui penyelenggaraan Gerai Pengukuran Kapal. Program ini bertujuan untuk memberi kemudahan bagi pemilik kapal tradisional di bawah GT.7 dalam memperoleh Pas Kecil sebagai status hukum kapalnya.

Pas Kecil adalah dokumen yang menjadi tanda bukti kepemilikan kapal, Surat Tanda Kebangsaan Kapal, sekaligus persyaratan kapal berlayar yang telah memenuhi aspek keselamatan dan keamanan pelayaran.

Aspek teknologi juga memiliki andil dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan pelayaran di perairan nasional. Untuk itu, Kemenhub telah mewajibkan pemasangan dan pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS) di kapal yang berlayar di perairan nasional, baik kapal nasional maupun asing.

AIS adalah sistem pemancaran radio Very High Frequency (VHF) yang menyampaikan data melalui VHF Data Link (VDL). Fungsinya, untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis, baik ke kapal lain, stasiun Vessel Traffic Services (VTS), dan/atau Stasiun Radio Pantai (SROP).

Teknologi juga dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran stasiun VTS di perairan Indonesia melalui penerapan pemanduan kapal secara elektronik (e-Pilotage). e-Pilotage diyakini mampu meningkatkan layanan kepelabuhanan yang, tentunya akan mendorong peningkatan keselamatan pelayaran dan perlindungan maritim.

STRAITREP

Dari aspek kenavigasian, peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan Kemenhub melalui penyusunan Rancangan Umum Tata Alur Pelayaran (RUTAP) di wilayah kerja Distrik Navigasi (Disnav). Seperti yang telah dilakukan Ditjen Hubla di wilayah kerja Disnav Kelas I Dumai.

RUTAP yang berbentuk desktop study akan menjadi arahan perwujudan ruang perairan sebagai jaringan/networking dalam komponen transportasi laut. Dalam hal ini, tersedianya alur pelayaran yang dibutuhkan pada masa mendatang sesuai dengan perkembangan pengguna jasa.

Dengan adanya RUTAP, informasi teknis terkait tatanan alur pelayaran di Disnav Kelas I Dumai bisa dimanfaatkan, baik oleh instansi Pemerintah, swasta, maupun stakeholder lainnya. Dengan demikian, tercipta keteraturan, kelancaran, serta keselamatan pelayaran di perairan pada WK Disnav I Dumai.

Desktop study RUTAP merupakan salah satu program Quick Wins Kemenhub guna mendukung angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim yang efektif dan efisien,” jelas Direktur Kenavigasian Ditjen Hubla Hengki Angkasawan.

Penetapan RUTAP di wilayah kerja Disnav Dumai menjadi bentuk komitmen Kemenhub dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan pelayaran global, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura. Seiring, alur pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura yang makin padat.

Hal tersebut tak terlepas dari peran penting Selat Malaka sebagai jalur pelayaran internasional yang menyediakan rute terpendek antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Malaka juga menjadi pintu utama perdagangan yang menghubungkan Asia Barat dan Asia Timur.

Selain jalur yang makin padat, kondisi Selat Malaka yang sempit dan dangkal juga menyebabkan tingginya risiko pelayaran di Selat Malaka. Kondisi tersebut menjadi perhatian khusus sejumlah negara pantai, pengguna, dan organisasi maritim internasional yang melakukan beragam upaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura.

Di antara inisiatif yang dilakukan tiga negara pantai (littoral states)—yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura—adalah mendirikan Tripartite Technical Expert Group (TTEG) pada 1975. TTEG merupakan wujud komitmen littoral states dalam memastikan keselamatan navigasi, melindungi lingkungan laut, serta memfasilitasi pergerakan kapal yang melalui Selat Malaka dan Selat Singapura.

Untuk itu, TTEG menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Malaka dan Selat Singapura dan Sistem Pelaporan Kapal Wajib atau Mandatory Ship Reporting System (STRAITREP). STRAITREP diterapkan di sepanjang jalur pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura yang terdiri atas 9 sektor, dengan traffic density sangat tinggi terdapat di Sektor 7, 8, dan 9 yang berada di Selat Singapura.

Pada 2021, tercatat sebanyak 58.758 kapal telah melapor pada STRAITREP. Jumlah terbanyak adalah container vessel yang diikuti kapal tangker dan bulk carrier. Adapun kapal yang wajib berpartisipasi pada STRAITREP adalah kapal-kapal sesuai kategori yang telah ditetapkan.

Guna mendukung STRAITREP, Ditjen Hubla melakukan pengembangan di VTS Dumai dan Batam. Pada VTS Dumai, dilaksanakan pengembangan radar, perluasan jangkauan, marine CCTV, dan meteorogical sensor. Sedangkan di VTS Batam, dilakukan pengembangan radar, AIS, data transmission, dan weather sensor

Setiap langkah Kemenhub dalam meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran diharapkan mampu membangun kekuatan maritim serta diplomasi maritim yang dapat menyatukan bangsa dan negara. Hingga akhirnya, terwujud visi negeri sebagai Poros Maritim Dunia. 

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp