Pelat nomor atau yang umum dikenal masyarakat sebagai nomor polisi merupakan identitas sebuah kendaraan bermotor. Setiap negara punya aturan tersendiri dalam penggunaan pelat nomor kendaraan.
Di Indonesia, penggunaan pelat nomor kendaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Dalam Pasal 68, pelat nomor wajib memuat kode wilayah, nomor registrasi dan masa berlaku, serta harus memenuhi syarat spesifikasi yang sudah diatur.
Meskipun masyarakat sudah banyak yang tahu tentang pelat kendaraan, akan tetapi masih sedikit yang tahu sejarah pelat nomor kendaraan di Indonesia.
Sejarah penggunaan pelat nomor kendaraan pertama kali sekitar tahun 1893, Perancis menjadi negara pertama yang menempelkan pelat nomor pada kendaraan bermotor. Tujuannya untuk memudahkan identifikasi kendaraan yang semakin hari semakin banyak, sekaligus lebih mudah untuk mengatasi kasus kecelakaan.
Tak berselang lama, Belanda juga mulai mengadopsi sistem yang sama pada 1901, lalu diikuti oleh berbagai negara lainnya, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Di Indonesia
Sejarah pelat nomor kendaraan di Indonesia diawali saat Inggris berhasil merebut Batavia (sekarang Jakarta, -red) dari Belanda pada tahun 1800-an. Inggris mengirimkan 150 kapal perang mengangkut total 15 ribu pasukan yang terbagi dalam 26 batalion. Masing-masing batalion ditandai dengan kode A hingga Z.
Inggris kemudian mulai melakukan operasi perang dengan mendistribusikan tiap-tiap batalion ke wilayah yang masih dikuasai Belanda. Wilayah yang berhasil direbut akan ditandai dengan kode huruf dari batalion yang berhasil melakukan tugasnya.
Setelah berhasil menguasai Batavia, Inggris mulai menerapkan peraturan berkendara dengan menyatakan bahwa setiap kereta kuda di sana wajib memiliki plakat atau pelat nomor dengan kode huruf B, ditambahkan lima digit dan huruf A (Annex) atau C (Cargo).
Alasan utama mengapa kode huruf B digunakan untuk wilayah Batavia karena batalion B yang berhasil menaklukkan daerah tersebut. Setelah Batavia, pasukan Inggris menduduki wilayah Banten yang dilakukan oleh pasukan batalion A. Kemudian mereka juga menandai wilayah tersebut dengan kode A.
Pada 27 Agustus 1811, pasukan Inggris berhasil menduduki Surabaya oleh batalion L, dan Madura oleh batalion M. Sementara wilayah lainnya yang juga berhasil direbut oleh masing-masing batalion, sesuai dengan huruf wilayah pelat nomor kendaraan pada saat ini.
Bagaimana dengan pelat kendaraan yang menggunakan dua huruf seperti Yogyakarta (AB) dan Solo (AD) maupun kota lainnya? Sejarahnya, untuk menduduki Yogyakarta saat itu Inggris mengirim dua batalion yakni A dan B. Begitu pula saat menguasai wilayah Solo yang dilakukan oleh batalion A dan D.
Untuk wilayah lainnya seperti Madiun dan Kediri, Kolonel Rollo Gillespie yang memimpin batalion A ditemani oleh batalion E untuk Madiun dan G untuk Kediri. Meskipun demikian, tidak semua batalion ikut bertempur seperti batalion C, I, J, O, Q, U, V, W, X, Y dan Z karena difungsikan sebagai cadangan (reserve unit).
Setelah Jawa berhasil direbut Inggris, Gubernur Jenderal Hindia Timur, Sir Thomas Stanford Raffles kemudian membentuk wilayah administratif berdasarkan wilayah militer tadi. Wilayah administratif sipil ini diberi nama regency atau yang dikenal orang Indonesia sebagai karesidenan.
Kemudian, saat Belanda kembali ke Indonesia pada 1816 mereka melanjutkan sistem penomoran kendaraan warisan Inggris dengan menerapkannya ke pulau Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Sistem penomoran peninggalan masa kolonial itulah yang sampai sekarang masih dipakai di Indonesia.
Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel
Hak Cipta Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat