Sang Penjelajah Kapuas Bernama Bandong

Pembangunan jalan darat yang masif di Kalimantan Barat perlahan menggeser fungsi kapal bandong sebagai transportasi andalan. Namun demikian, keberadaan bandong masih memberikan dampak signifikan bagi potensi ekonomi di sepanjang aliran Sungai Kapuas.

Di tengah semakin pesatnya perkembangan transportasi angkutan darat di pulau Kalimantan, kapal bandong sampai saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hulu Sungai Kapuas. Eksistensi bandong bukan hanya moda transportasi sungai pengangkut logistik, tetapi juga berpotensi mendukung perkembangan pariwisata sungai.

Bandong merupakan kapal tradisional yang digunakan untuk mengangkut komoditas pertanian, hasil sungai, sembako, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya ke daerah hulu Kalimantan Barat.

Kapal bandong telah ada sejak awal abad ke-19. Pada masa tersebut, mengingat belum tersedianya jalan darat, masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) bergantung pada aliran Sungai Kapuas sebagai jalur transportasi utama yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pesisir.

Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda mengintensifkan jalur Sungai Kapuas menuju pedalaman dengan mengoperasikan kapal uap kecil. Pada akhir abad ke-19, liberasi ekonomi Belanda memunculkan perusahaan dagang yang menjalin kerja sama dengan kelompok masyarakat di berbagai wilayah pedalaman.

Setelah ditetapkan sebagai provinsi pada tanggal 1 Januari 1957, pembangunan infrastruktur di Kalimantan Barat mulai terlihat. Pemerintah daerah mendapat dukungan dari pemerintah pusat secara berkesinambungan membangun sarana dan prasarana jalan darat penghubung antarkota dan antarkabupaten. Selain itu, Pemprov Kalimantan Barat juga membangun jalan lintas negara menuju Serawak, Malaysia.

Terbukanya akses darat menjadi angin segar bagi masyarakat Kalimantan Barat. Kini, mereka memiliki alternatif selain jalur sungai dalam mengakomodir kebutuhan mobilitas serta angkutan logistik. Perlahan peran bandong mulai tergantikan oleh angkutan darat. Situasi ini berdampak pada berkurangnya penghasilan pemilik dan pembuat kapal bandong.

Muksin, salah seorang pembuat kapal bandong, bercerita saat transportasi sungai masih menjadi primadona di Kalimantan Barat, ia bisa dengan mudah menjual kapal bandong. Mayoritas pembeli kapal bandong adalah para pedagang.

“Beberapa bandong yang diproduksi dibawa ke Pontianak menyusuri Sungai Kapuas dan singgah di beberapa kabupaten. Saat singgah di kabupaten-kabupaten sudah habis terjual. Dahulu harganya baru sekitar Rp 8 juta per unit,” ungkap Muksin.

Muksin menambahkan, selain karena menurunnya permintaan, berkurangnya pembuat kapal bandong juga disebabkan bahan baku kayu belian atau disebut juga kayu besi yang semakin sulit didapatkan. Jenis kayu tersebut saat ini masuk dalam kategori dilindungi untuk dilestarikan pada beberapa area hutan lindung.

Meskipun demikian, kapal bandong yang masih ada sampai saat ini masih digunakan sebagai moda transportasi sungai yang memuat bahan pangan serta material ringan ke daerah hulu Sungai Kapuas. Sebaliknya, masyarakat dari hulu juga memanfaatkan kapal bandong untuk mengirim hasil bumi seperti olahan ikan atau ikan hias arwana.

Selain itu, Pemerintah Kalbar berupaya mengabadikan kapal bandong sebagai salah satu warisan budaya dengan memfungsikannya sebagai kapal wisata bagi pelancong yang ingin menikmati Sungai Kapuas. Target yang disasar adalah para wisatawan dari negara yang berbatasan dengan Kalbar yakni Brunei Darussalam dan Malaysia.

Belum lama ini, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) Kuching mengajak 25 wisatawan asal Serawak, Malaysia, melakukan tur wisata menjelajahi Sungai Kapuas dan Danau Sentarum menaiki kapal bandong selama enam hari.

Konsulat Jenderal RI Kuching, Raden Sigit Witjaksono, menjelaskan kegiatan pelayaran wisata jelajah Sungai Kapuas ini selain mempererat hubungan antara masyarakat Indonesia khususnya Kalimantan Barat dengan masyarakat Sarawak, juga merupakan titik awal pengembangan potensi wisata dan kemajuan ekonomi.

“Kami yakin potensi keindahan alam Kalimantan Barat yang memiliki daya tarik dan nilai jual pariwisata masih banyak yang belum diketahui orang luar. Kegiatan tur ini kita harapkan dapat menjadi awal terbukanya dikenal orang dan menjadi tujuan utama para wisatawan baik dalam maupun luar negeri,” tutur Sigit.(*)

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp