Tidak bisa dipungkiri, munculnya Covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap sektor transportasi, khususnya bagi angkutan umum massal. Selama pandemi, pelayanan angkutan umum massal perkotaan tetap berjalan secara terbatas dan dimaksudkan untuk melayani masyarakat dari sektor esensial dan kritikal yang masih harus beraktifitas di luar rumah.
Di sisi lain, upaya memberikan layanan angkutan umum massal ini ternyata menimbulkan tantangan baru. Salah satunya adalah potensi ketidakpercayaan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum massal karena khawatir berpotensi penularan Covid-19.
Menurut Kepala Humas BPTJ Budi Raharjo, timbulnya kekhawatiran masyarakat tidak bisa disepelekan. Sebab, akan muncul potensi ketidakpercayaan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum massal dalam jangka panjang.
“Timbulnya kekhawatiran ini tidak bisa dipandang remeh karena berpotensi akan mengurangi kepercayaan publik dalam jangka panjang terhadap layanan angkutan umum massal di Jabodetabek, terlebih terdapat kecenderungan pandemi Covid -19 tidak akan berakhir dalam waktu pendek,” terang Budi.
Budi Raharjo menambahkan, berkurangnya ketidakpercayaan masyarakat akan berpengaruh terhadap pencapaian Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2029 yaitu menargetkan 60% pergerakan warga Jabodetabek harus menggunakan angkutan umum massal.
Menyikapi kondisi tersebut, selama pandemi, BPTJ melakukan perubahan strategi dalam mengimplementasikan kebijakan pengelolaan transportasi di Jabodetabek dengan mengedapankan tiga isu utama. Masing-masing isu tersebut terus diimplementasikan serta dievaluasi agar mampu menciptakan pelayanan terbaik, sehingga masyarakat tetap percaya untuk menggunakan angkutan umum massal sebagai alat transportasi utama dalam bermobilitas sehari-hari.
Tingkatkan Prokes dan Akses
Meski diberlakukan pembatasan pergerakan aktivitas, kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum maksimal dalam mengikuti aturan tersebut. Akibatnya transportasi kereta api sempat menjadi salah satu indikator penularan Covid-19.
“Contohnya masyarakat dan dunia usaha diminta untuk mengatur jadwal pegawai. Sebaiknya jangan semua masuk di jam yang sama, tetapi dibuat shifting sehingga yang naik angkutan umum tidak menumpuk di jam yang sama. Tetapi ternyata tidak bisa juga sehingga terjadi penumpukan di KRL,” terang Budi Raharjo.
Untuk itu guna mengurai kepadatan penumpang di KRL, sekaligus tetap menjadi layanan transportasi dengan protokol kesehatan, BPTJ mengeluarkan layanan bus gratis yang diperuntukkan jika terjadi kerumunan di stasiun. Umumnya layanan bus gratis beroperasi pada hari senin dan jumat karena pergerakan penumpang lebih padat dibandingkan hari lainnya.
“Apabila ada kerumunan, bus gratis dioperasikan untuk memecah kerumunan tersebut. Jadi bukan menyediakan moda baru sebagai alternatif, melainkan mendukung KRL untuk tetap taat protokol kesehatan. Kami juga memastikan dengan monitoring dan evaluasi agar protokol kesehatan tetap berjalan,” jelas Budi.
Kemudian pada perkembangannya, mengurai kepadatan disatu titik ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bermobilitas sehari-hari. “Setelah melakukan observasi ternyata perlu ada rute baru Bus Jabodetabek Residence Connexion (JR Connexion) untuk mendukung aksesibilitas dan memberikan pilihan yang lebih banyak untuk masyarakat,” ujar Budi.
Untuk itu BPTJ menerapkan rute baru bersama para operator di Kota Bogor karena memiliki demand yang tinggi terhadap KRL. Rute tersebut diantaranya dari Stasiun Kota Bogor, Sentul, dan beberapa perumahan seperti Taman Sari Persada menuju Jakarta. Dengan begitu, masyarakat bisa memilih layanan transportasi sesuai dengan kebutuhan.
“Untuk segmen tertentu, mereka tidak bergantung pada KRL. Mereka tidak masalah membayar lebih mahal asalkan ada alternatif transportasi lain. Ternyata JR Connexion bisa diterima oleh mereka,” aku Budi.
Meski begitu, BPTJ pun tidak bisa memaksa masyarakat untuk selalu menggunakan layanan angkutan umum massal. Untuk itu, di beberapa titik, peraturan ganjil genap dihentikan sementara waktu untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.
“Peraturan ganjil genap di pintu tol sampai saat ini ditiadakan untuk memberikan kesempatan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Kebijakan ini mau tidak mau harus dilakukan di tengah kondisi yang krisis, karena kita tidak bisa memaksa orang untuk menggunakan angkutan umum massal,” jelas Budi.
Skala Prioritas
Setelah mengimplementasikan sejumlah kebijakan berkaitan dengan ketersediaan layanan angkutan umum massal dan aksesibilitas yang tetap menegakkan protokol kesehatan, BPTJ kemudian fokus skala prioritas agar target RITJ 2029 tetap terlaksana di masa pandemi.
“Ketidaksetaraan pelayanan antara daerah DKI dengan daerah sekitarnya adalah masalah yang sudah ada sejak lama. BPTJ tidak semudah itu untuk mengintegrasikan layanan karena setiap daerah memiliki peraturannya masing-masing. Ini menjadi tugas BPTJ untuk mendorong angkutan umum massal di daerah tersebut,” terang Budi.
Solusinya, BPTJ memberikan subsidi bagi angkutan umum di daerah melalui skema pembelian layanan atau Buy The Service (BTS). Skema BTS pertama dari BPTJ rencananya akan resmi beroperasi di Bogor pada oktober mendatang.
Kemudian isu strategis kedua adalah ketersediaan layanan transportasi yang terintegrasi dengan LRT Jabodebek yang rencananya akan beroperasi di pertengahan 2022. Salah satu implementasinya adalah memaksimalkan kawasan Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas.
Dukuh Atas terpilih menjadi kawasan realisasi integrasi transportasi. Hal tersebut dikarenakan Dukuh Atas merupakan Transit Oriented Development (TOD) yang paling banyak memiliki titik-titik stasiun. Seperti KRL, Stasiun Kereta Bandara, dan LRT.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana B. Pramesti menuturkan, setelah melewati proses kajian, pembangunan JPM Dukuh Atas akan dilakukan satu paket bundling dengan revitalisasi Stasiun KRL Sudirman. Sebab, apabila pembangunan hanya difokuskan pada JPM, akan kurang menarik bagi investor.
Nantinya, JPM Dukuh Atas akan menghubungkan Stasiun LRT Setiabudi dengan Stasiun KRL Sudirman melewati Sungai Ciliwung. Selain itu, JPM Dukuh Atas pun akan terhubung dengan Stasiun BNI yang melayani kereta bandara.
Adapun guna mempercepat realisasi pembangunan JPM Dukuh Atas, BPTJ telah melakukan langkah koordinatif dengan sejumlah pihak. “Kami telah mengirim surat resmi kepada Direktur Jenderal Perkeretaapian, mengingat Stasiun KRL Sudirman merupakan asset dibawah kewenangan mereka. Demikian pula surat senada telah kami sampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta yang memiliki kewenangan atas wilayah TOD Dukuh Atas secara keseluruhan,” urai Polana.
Kemudian BPTJ juga membentuk Tim Percepatan Pembangunan JPM tersebut dengan melibatkan Ditjen Perkeretapian, Kementerian BUMN, Pemprov DKI Jakarta, PT Kereta Api Indonesia (Persero) serta PT MRT Jakarta. Polana menambahkan, pembangunan JPM Dukuh Atas diupayakan sepenuhnya menggunakan pembiayaan swasta. Dalam hal ini, PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) telah ditunjuk untuk merealisasikan proyek tersebut.
Meski dibangun dalam paket bundling, pembangunan JPM Dukuh Atas akan didahulukan menyusul kemudian revitalisasi Stasiun KRL Sudirman. Pembangunan JPM Dukuh Atas ditargetkan selesai pada pertengahan 2022 untuk mendukung operasional LRT Jabodebek, sekaligus mengukuhkan kawasan Dukuh Atas sebagai kawasan integrasi antarmoda perkotaan yang lengkap dan efisien.
Melihat Peluang
Transportasi perkotaan tidak terlepas dari isu kesehatan dan lingkungan. Menggunakan angkutan umum massal memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat secara personal dan kepentingan publik. Masyarakat mampu menekan penyakit non infeksi seperti diabetes, stroke, dan jantung akibat kurang bergerak serta meningkatkan kualitas udara lebih bersih dan ramah lingkungan.
“Kualitas hidup masyarakat Jabodetabek memang sangat terkait dengan kualitas udara. Data menyebut kualitas udara Jakarta dan daerah sekitarnya cenderung buruk bahkan beberapa kali menempati peringkat atas dibanding kota-kota lain di dunia. Sementara itu transportasi menyumbang sekitar 40% atas buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya. Dengan semakin banyak masyarakat Jabodetabek yang berpindah ke angkutan umum massal dan memanfaatkan Non Motorized Transportation secara langsung ikut berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya,” terang Polana.
Untuk itu, BPTJ senantiasa berupaya mengajak masyarakat untuk mulai mengimplementasikan tahapan first mile dan last mile dalam bertransportasi publik. First mile adalah dari titik awal berangkat menuju angkutan umum massal, sedangkan last mile adalah perpindahan dari angkutan umum massal menuju titik terakhir tujuan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Dengan begitu, tujuan dari penggunaan angkutan umum massal yaitu sustainable transport dapat terpenuhi termasuk dampak kesehatan dan lingkungannya.
Khusus bagi pesepeda, BPTJ menyediakan layanan bagasi sepeda lipat di JR Connexion secara gratis untuk mengakomodir kebutuhan penumpang. Saat ini, dari delapan operator JR Connexion yang beroperasi terdapat enam operator JR Connexion yang menyiapkan fasilitas bagasi sepeda lipat gratis dengan 14 unit bus ke 10 rute. Diantaranya rute SDC Serpong – Stasiun MRT Lebak Bulus dan Jakarta – Cikarang.
Evaluasi
Agar layanan angkutan umum massal semakin maksimal sesuai kebutuhan masyarakat, BPTJ melakukan evaluasi secara berkala dengan melibatkan media luar yaitu Ombudsman dan YLKI. Hasilnya, baik petugas pelaksana dan operator melakukan penegakan protokol kesehatan sesuai dengan standar.
Selain itu, kesadaran masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan perilaku seperti disiplin menggunakan masker, teratur dalam antrean, serta menjaga jarak dan tidak mengobrol saat berada di bus atau kereta api. Kebijakan tersebut membawa hasil positif terhadap pelaku atau pengguna maupun petugas di lapangan.
Kemudian respon positif juga terlihat pada komunikasi operator dan masyarakat melalui media sosial. “Aktivitas respon layanan selama pandemi cukup intensif. Terutama di operator KRL, MRT, Transjakarta itu komunikasi dengan media sosial terkait dengan layanan masyarakat itu intensif. Otomatis kami mendapatkan respon baik dari sana,” jelas Budi.
Melalui implementasi ketiga isut utama tersebut diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum massal dalam bermobilitas sehari-hari, tidak hanya di masa pandemi tetapi juga di masa mendatang. Dengan begitu, peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan serta pemanfaatan moda share sebanyak 60% dapat terwujud pada 2029.
Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel
Hak Cipta Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat