Isu Strategis Pemerataan Infrastruktur Transportasi

Sejumlah infrasruktur transportasi yang terbangun belum merata. Pembangunan di wilayah timur dan barat masih terjadi kesenjangan. Kendati upaya mengurangi kesenjangan itu sudah dilakukan, namun masih ada kendala. Cukup besar tantangan dan kendala untuk menggapai Indonesia Emas 2045 di sektor transportasi. Oleh sebab itu, ke depan perlu dipertimbangkan keberadaan unit kerja Direktorat Keselamatan Transportasi Darat dan Direktorat Jenderal Transportasi Perkotaan di Kementerian Perhubungan.

Kajian Bappenas (2019), menyebutkan konektivitas backbone antar pulau belum optimal. Muatan balik dari Kawasan Timur Indonesia masih rendah. Rata-rata muatan datang 100 persen dan muatan balik kapal di Kawasan Timur sebesar 30 persen. Rendahnya muatan (load factor), akibat (1) terbatasnya kawasan ekonomi di Indonesia Timur, (2) belum terbentuk konsolidasi rute (loop) secara optimal, dan (3) layanan perintis/Public Service Obligation (PSO) laut, penyeberangan, udara, darat belum terintegrasi dan optimal.

Selanjutnya Kajian Bappenas (2020), menyatakan layanan penyeberangan pada Lintas Utama kurang memadai. Usia kapal penyeberangan di Indonesia sudah tua dan kurang memenuhi standar keamanan. Biaya untuk pengadaan dan peremajaan kapal sangat mahal. Layanan kapal perintis penyeberangan belum terintegrasi dan optimal.

Kondisi bandara utama dan feeder belum memenuhi standar. Tarif penerbangan domestik semakin tinggi (terutama Kawasan Timur). Banyak wilayah yang belum terakses layanan transportasi udara dengan baik. Lebih dari 50 persen bandara di Indonesia belum memenuhi standar teknis dan layanan. On time performance penerbangan domestik jauh dibawah negara lain di dunia. Pengaturan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) tiket pesawat perlu ditinjau. Cakupan layanan perintis udara masih terbatas dan duopoli maskapai.

Biaya transportasi masih menjadi kontributor terbesar dalam biaya logistik nasional. Kajian Biaya Logistik SIRI (2022), menyebutkan biaya logistik tahun 2022 sebesar 14,1 persen terhadap harga barang. Sebesar 80 persen biaya logistik disumbang oleh sektor transportasi. Performa logistik Indonesia masih belum optimal. Kinerja logistik Indonesia masih di bawah negara ASEAN lainnnya. Kinerja infrastruktur transportasi multimoda masih terbatas.

Kinerja pelabuhan utama di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Kajian yang dilakukan Kemen. PUPR (2022), waktu tempuh pada lintas utama pulau masih tinggi. Waktu tempuh pada lintas utama di Indonesia 2,1 jam per 100 km. Bandingkan dengan Vietnam 1,5 jam per 100 km, Thailand (1 jam per 100 km), China (0,9 jam per 100 km) dan Malaysia (0,7 jam per 100 km).

Sementara kajian yang dilakukan Kementerian Perhubungan (2022), menyebutkan moda Kereta Api belum diminati untuk mendukung angkutan logistik. Pangsa KA logistik masih di bawah 1 persen. Moda

KA memiliki keunggulan dibanding moda lain (darat dan laut) untuk jarak 750 km – 1.500 km. Namun tingkat utilitas pemanfaatan kapasitas jalur ganda KA Pantura dan Pansela masih di bawah 60 persen. Fasilitas intermoda KA dengan moda lain masih sangat terbatas.

Pangsa transportasi jalan penumpang sebesar 84,13 persen dan barang 91,25 persen, kereta api (penumpang 7,32 persen dan barang 0,63 persen, insular (penumpang 4,83 persen dan barang 0,09 persen), maritim (penumpang 1,76 pesen dan barang 7,07 persen), udara (penumang 1,52 persen dan barang 0,05 persen) dan waterway (penumpang 0.43 persen dan barang 0,01 persen).

Di samping itu, keselamatan transportasi jalan, laut, dan udara masih memerlukan perhatian. Tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas di Indonesia rata-rata per tahun mencapai lebih kurang 26 ribu jiwa (setara 3-4 orang meninggal per jam).

Catatan Bappenas (2024), untuk transportasi umum, belum tersedia atau memadainya transportasi perkotaan pada perkotaan metropolitan dan besar di Indonesia. Panjang jalur MRT di Jakarta 15,7 km, Singapura (202,4 km), Tokyo (195,1 km), Hongkong (174,7 km), Kuala Lumpur (142,5 km), dan Bangkok (70,6 km).

Sementara pangsa angkutan umum di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya di Indonesia masih kurang dari 20 persen. Bandingkan dengan Singapura, Hongkong dan Tokyo sudah lebih 50 persen, Kuala Lumpur dan Bangkok kisaran 20 persen – 50 persen. Penyediaan layanan transportasi umum perkotaan masih jauh di bawah kota–kota metropolitan lainnya

Keterbatasan sistem angkutan umum perkotaan juga mengakibatkan hambatan pertumbuhan ekonomi. Kota Jakarta, Surabaya dan Bandung termasuk kota termacet di Asia. Akibat kemacetan, peningkatan 1 persen urbanisasi hanya meningkatkan 1,4 persen PDB per kapita. Sementara China 3 persen, sedangkan negara-negara Asia Timur Pasifik 2,7 persen. Kurangnya kapasitas kelembagaan, rencana mobilitas terpadu, dan kapasitas fiskal daerah.

Masih ada hambatan lainya, yaitu keterbatasan disebabkan oleh kurangnya kapasitas kelembagaan, rencana mobilitas terpadu, dan kapasitas fiskal daerah. Belum ada Kelembagaan Transportasi Metropolitan yang dapat mengintegrasikan pembangunan serta mengelola lintas batas administrasi dan lintas moda angkutan dalam satu wilayah fungsional metropolitan.

Belum terdapat Rencana Mobilitas Perkotaan Terpadu sebagai dasar implementasi angkutan massal perkotaan termasuk untuk jaringan dalam satu wilayah metropolitan.

Keterbatasan Kapasitas Fiskal Daerah untuk membangun angkutan massal perkotaan. Jika hanya mengandalkan APBD, selain DKI Jakarta tidak ada kota yang mampu membangun MRT dan LRT. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pembangunan angkutan massal adalah kewenangan Pemda. Kemampuan fiskal dilihat dari kapasitas pinjaman daerah. Capital Expenditure (Capex) atau pengeluaran modal MRT sekitar USD 1 miliar per 10 km. Capex LRT senilai USD 460 juta per 20 km, dan Capex BRT adalah USD 140 juta per 30 km

Revisi UU LLAJ dan pembenahan organisasi di Kemenhub

Menuju Indonesia Emas 2045, sektor transportasi memiliki tantangan yang cukup besar. Keselamatan harus menjadi fokus pembenahan pemerintahan yang akan datang. Setidaknya dalam lima tahun ke depan, sudah mulai menunjukkan angka kecelakaan makin menurun. Perlunya dihidupkan Direktorat Keselamatan Transportasi Darat untuk memperkuat organisasi di Kementerian Perhubungan. Juga merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk memberikan ruang KNKT melakukan investigasi kecelakaan lalu lintas, seperti halnya pada UU Pelayaran, UU Perkeretaapian dan UU Penerbangan.

Untuk menangani berbagai persoalan transportasi perkotaan, Direktorat Jenderal Transportasi Perkotaan diperlukan. Sekarang ada sekitar 15 wilayah aglomerasi di Indonesia. (*)

Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp