Untuk mewujudkan sistem transportasi yang smart, integrated, dan sustainable, Kemenhub memberikan kemudahan aksesibilitas serta prasarana yang terintegrasi bagi masyarakat dari dan menuju kawasan perkotaan melalui angkutan massal.
Konsep angkutan massal akan dapat beroperasi dengan lebih baik apabila dioperasikan dengan konsep jaringan. Artinya, angkutan massal dapat melayani berbagai tujuan perjalanan, dibandingkan dengan rute individu yang hanya melayani satu perjalanan atau dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Menurut Juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, aglomerasi adalah kota atau kabupaten yang telah diperpanjang yang terdiri dari pusat kota yang padat (umumnya kota madya) dan kabupaten yang terhubung oleh daerah perkotaan yang berkesinambungan.
Umumnya, kota yang termasuk dalam wilayah aglomerasi menawarkan berbagai kelebihan baik dari bentuk produktivitas, pendapatan yang lebih tinggi, investasi yang menjanjikan, teknologi baru, hingga pekerja yang lebih terampil dan terdidik. Jumlahnya tentu saja jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah perdesaan (non aglomerasi).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan, pada 2045 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan diprediksi akan mencapai 70%. Pesatnya pertumbuhan penduduk tersebut harus diikuti dengan perbaikan kota serta sistem transportasinya, baik di kota itu sendiri maupun daerah sekitar sebagai penyangganya atau disebut dengan wilayah aglomerasi.
Maka, Pemerintah-dalam hal ini Kemenhub terus mengoptimalkan penggunaan angkutan massal di beberapa titik wilayah aglomerasi di Indonesia. (Infografis 1)
Adapun angkutan massal yang telah disediakan di antaranya angkutan massal berbasis jalan yaitu Bus Rapid Transit (BRT) dengan skema Buy The Service (BTS), serta angkutan massal berbasis rel yaitu Light Rail Transit (LRT), dan Mass Rapid Transit (MRT). Kehadiran angkutan massal yang terintegrasi, memudahkan masyarakat berpindah dari satu angkutan ke angkutan lainnya.
Sebagai contoh, penumpang di Solo yang hendak pergi ke Bandara Adi Soemarmo dapat menaiki angkutan kota melalui halte terdekat menuju Terminal Tipe A Tirtonadi. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui Sky Bridge menuju Stasiun Solo Balapan untuk kemudian menaiki kereta bandara menuju Bandara Adi Soemarmo.
Jika penumpang ingin sampai lebih cepat karena satu dan lain hal, tersedia pula rute Trans Jateng dari Terminal Tipe A Tirtonadi yang langsung menuju Bandara Adi Soemarmo. Ketersediaan dua alternatif transportasi angkutan massal ini disebut sebagai kemudahan aksesibilitas, yaitu penumpang dapat memilih rute yang diinginkan sesuai kenyamanan selama perjalanan.
Angkutan massal yang terintegrasi juga dapat ditemui di wilayah aglomerasi Jabodetabek. Masyarakat dari Bogor yang ingin menuju kawasan Dukuh Atas dapat menaiki KRL dari Stasiun Bogor dan berhenti di Stasiun Sudirman. Kemudian perjalanan bisa dilanjutkan dengan memilih berbagai pilihan alternatif angkutan massal, diantaranya MRT, Transjakarta, atau menyewa sepeda di fasilitas penyewaan yang telah disediakan.
Penyewaan sepeda sendiri merupakan bagian dari sistem transportasi perkotaan. Lantaran, penggunaan sepeda sebagai transportasi berkaitan dengan first mile dan last mile.
First mile berarti bertransportasi dari titik awal menuju sarana transportasi massal terdekat. Sedangkan last mile berarti bertransportasi setelah dari angkutan umum massal menuju titik terakhir. Jika masyarakat yang memilih menaiki sepeda atau berjalan kaki setelah menaiki angkutan massal, artinya masyarakat percaya akan dampak positif penggunaan angkutan massal baik untuk kesehatan diri maupun lingkungan.
Seluruh upaya Kemenhub dalam menghadirkan sistem transportasi yang efektif, efisien, aman, dan selamat di wilayah aglomerasi pun tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di Jabodetabek, Bandung, Bali, Pekanbaru, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta.
Harapannya melalui transportasi yang terintegrasi serta kemudahan aksesibilitas, masyarakat dapat memilih angkutan massal sebagai transportasi utama dalam bermobilitas sehari-hari. Dengan begitu, kemacetan akan semakin terurai sekaligus menurunkan polusi udara.
Integrasi Moda
Di Jabodetabek, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) bersinergi dalam mewujudkan transportasi angkutan massal yang dipercaya oleh masyarakat.
Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 serta kebijakan Peraturan Menteri Perhubungan No. 172 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) dan telah ditetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) hingga tahun 2029. (Infografis 2, 3, dan 4)
“Kemenhub terus berkomitmen dan berupaya meningkatkan pelayanan angkutan umum massal di Indonesia baik kuantitas maupun kualitas. Tujuannya agar angkutan massal semakin nyaman sehingga semakin banyak masyarakat yang beralih dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan massal,” jelas Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati.
Saat ini, integrasi angkutan massal perkotaan di Jabodetabek sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya sejumlah infrastruktur angkutan massal guna mencukupi kebutuhan atau demand masyarakat terhadap penggunaan angkutan massal di kawasan perkotaan.
Salah satu peningkatan infrastruktur adalah pembangunan LRT Jabodebek. Ditargetkan beroperasi pada Juni 2022, LRT Jabodebek menempuh rute Bekasi Timur hingga Dukuh Atas hanya dalam waktu 45 menit. Sedangkan rute Cibubur-Dukuh Atas hanya membutuhkan waktu tempuh selama 39 menit.
Saat meninjau pembangunan LRT Jabodebek, Presiden Joko Widodo menyampaikan pembangunan LRT merupakan bagian dari upaya pemerintah mewujudkan sistem transportasi massal yang terintegrasi, sehingga efisiensi perjalanan dari satu daerah ke daerah lain semakin meningkat.
“Kenapa LRT ini kita bangun? Kita ingin membangun transportasi massal yang terintegrasi, MRT, LRT, kereta bandara, Bus Transjakarta, semuanya terintegrasi sehingga terjadi efisiensi dalam orang bepergian dari satu titik ke titik yang lain. Kita harapkan setelah ini selesai, kita akan masuk pada titik-titik yang lain,” terang Joko Widodo.
Pembangunan infrastruktur yang terintegrasi akan semakin dioptimalkan salah satunya melalui pembangunan kawasan berkonsep Transit Oriented Development (TOD). Pengembangan TOD dilakukan dengan memerhatikan 5 aspek yaitu keterhubungan, angkutan massal, pejalan kaki, pesepeda, dan peralihan moda.
Salah satu contoh pengembangan kawasan TOD berada di Lintas Pelayanan II LRT Jabodebek Cawang-Dukuh Atas. Di sana, terdapat tiga lokasi TOD yaitu Stasiun Dukuh Atas, Stasiun Cawang Ciliwung, dan Stasiun Cawang Cikoko. TOD akan mengintegrasikan LRT dengan moda transportasi lainnya seperti Transjakarta, KRL, atau berdekatan langsung dengan kawasan pemukiman, area komersial, dan perkantoran. (Infografis 5 dan 6)
Sejalan dengan pembangunan infrastruktur, Kemenhub juga berupaya menghadirkan angkutan massal dengan tarif terjangkau bagi masyarakat. Untuk itu, salah satu langkah yang dilakukan adalah memberikan subsidi melalui Public Service Obligation (PSO) yang sudah diimplementasikan pada moda KRL.
Dengan harga yang terjangkau, masyarakat tetap aman dan nyaman selama menggunakan angkutan massal. Sebab, Kemenhub telah mengatur standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi seluruh operator transportasi publik.
“Indonesia memiliki beberapa wilayah aglomerasi perkotaan besar. Jabodetabek merupakan yang paling besar, dengan jumlah penduduk 33 juta jiwa, kebutuhan pergerakan masyarakat mencapai 88 juta setiap hari. Untuk itu diperlukan transportasi publik yang aman dan nyaman, agar pergerakan masyarakat bisa dilayani dengan baik,” jelas Budi Karya.
Pengembangan sistem angkutan massal yang dilakukan juga harus memerhatikan aksesibilitas dari layanan angkutan umum perkotaan yang mencapai 80% dari panjang jalan. Untuk itu, setiap daerah harus memiliki jaringan layanan tranportasi lokal/pengumpan (feeder) yang terintegrasi dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi perkotaan.
Simpul transportasi perkotaan juga harus memiliki fasilitas bagi pejalan kaki dan park and ride agar perpindahan moda ke angkutan umum mudah dan cepat. Untuk itu, jarak perpindahan antar moda tidak lebih dari 500 meter. Demikian pula akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter. (Infografis 7)
Penataan Angkutan Massal
Provinsi Jawa Tengah memiliki angkutan massal yang telah melayani wilayah aglomerasi. Salah satu angkutan massal yang menghubungkan delapan wilayah aglomerasi Jawa Tengah adalah BRT Trans Jateng. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Trans Jateng telah beroperasi di lima koridor wilayah aglomerasi. (Infografis 8 dan 9)
Kemudian operasional BTS aglomerasi pun diperluas melalui satu koridor baru yaitu Terminal Bulupitu-Kroya. Menurut Koordinator Satuan Pelayanan Terminal Tipe A Bulupitu Purwokerto Antonius Bayu, koridor Terminal Bulupitu-Kroya membutuhkan persiapan yang lebih banyak karena menghubungkan antar kabupaten.
“Koridor 3 (Terminal Bulupitu-Kroya) merupakan aglomerasi antar Kabupaten, sehingga membutuhkan persiapan yang lebih, koordinasi dengan tingkat Dishub Provinsi Jateng dan Kabupaten Cilacap. Di tahun 2021 ini, hanya akan dioperasionalkan 3 koridor terlebih dahulu, yakni koridor 5 (wilayah kota Purwokerto), koridor 2 (Terminal Notog Patikraja-Baturraden), dan koridor 1 (Pasar Pon Purwokerto-Terminal Ajibarang). Untuk pengoperasiannya masih menunggu informasi launching dari Kementerian Perhubungan,” terang Antonius.
Guna meningkatkan kenyamanan penumpang selama menggunakan layanan Trans Jateng, Balai Trans Jateng selaku pengelola mengembangkan inovasi smart transportation aplikasi Si Anteng. Aplikasi Si Anteng berfungsi memberikan informasi pergerakan bus serta jam kedatangan bus di masing-masing halte. Dengan begitu, penumpang dapat melakukan efisiensi perjalanan. Aplikasi ini dapat diunggah melalui Playstore.
Menurut Kepala BPTD Wilayah X, Eko Agus Susanto, angkutan massal khusus wilayah aglomerasi sangat berdampak bagi masyarakat. “Transportasi aglomerasi sangat berdampak signifikan terhadap masyarakat. Karena jika di terminal tidak ada transportasi aglomerasi, maka masyarakat akan kesulitan. Contohnya jika kita di Purwokerto dan ingin ke tempat wisata, tentu akan kesulitan jika tidak ada transportasi aglomerasi,” terang Eko Agus.
Kemudian sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan Kendal-Semarang-Salatiga-Demak-Grobogan, Kawasan Purworejo-Wonosobo-Magelang-Temanggung dan Kawasan Brebes-Tegal-Pemalang, terdapat program/kegiatan rencana induk pembangunan kawasan di Jawa Tengah. Di antaranya Kedungsepur, Wanarakuti, Banglor, Purwomanggung, Subosukawonosraten, Bregesmalang, Barlingmascakeb, Petanglong, dan lintas kawasan. (tabel 1, 2, dan 3)
Tantangan Bukan Halangan
Pelaksanaan program angkutan massal tentu saja tidak luput dari permasalahan di lapangan. Budi Karya menyampaikan, permasalahan sering dihadapi dalam penyediaan transportasi massal di Indonesia, khususnya di wilayah aglomerasi. Sedikitnya terdapat empat permasalahan utama yang terjadi dalam penyediaan transportasi massal.
Pertama, adalah kebijakan antara daerah-daerah yang belum memiliki visi dan misi yang sama. Kedua, keterbatasan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana yang umumnya membutuhkan dana yang besar. Ketiga, terbatasnya lahan yang dapat digunakan sebagai akses jalur transportasi massal karena sudah dikuasai oleh perorangan maupun korporasi. Terakhir, tidak adanya integrasi antara satu moda dengan moda lainnya.
Menurut Budi Karya, permasalahan tersebut bukanlah halangan untuk mengembangkan angkutan massal yang aman dan selamat. Solusinya adalah dengan melakukan langkah strategis yang wajib melibatkan seluruh pihak.
“Langkah strategis itu seperti pembentukan sebuah lembaga atau organisasi yang mempunyai kewenangan untuk mengintegrasikan seluruh rencana pengembangan transportasi tiap-tiap daerah, sebagaimana yang akan dibentuk di Jabodetabek. Lembaga ini akan mengkoordinasikan mulai dari perencanaan, pendanaan, pembangunan, pengoperasian, pengawasan, pengaturan tarif, serta pemberian subsidi,” ujarnya.
Kemudian langkah strategis Kemenhub pun ditujukan untuk masyarakat sebagai pengguna transportasi itu sendiri. Kemenhub terus melakukan sosialisasi terkait keamanan, kenyamanan, serta manfaat penggunaan transportasi massal. Kemenhub memastikan, masyarakat tidak perlu khawatir menggunakan transportasi massal, terutama di masa pandemi Covid-19.
Di masa Pembatasan Pergerakan Kegiatan Manusia (PPKM), layanan angkutan massal seperti KRL dan bus di wilayah Jabodetabek tetap beroperasi seperti biasa. Sedangkan di wilayah aglomerasi Jawa Tengah, hanya KRL Yogyakarta-Solo dan Trans Jateng yang beroperasi. Sementara rute kereta aglomerasi KA Joglosemarkerto – Yogya – Solo, KA Kamandaka, dan KA Kaligung Poncol-Tegal-Brebes-Cirebon keberangkatan dari Stasiun Poncol Semarang tidak beroperasi.
“Pembatasan kapasitas dan penegakan protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19 ini justru bagian dari upaya untuk tetap membangun kepercayaan masyarakat terhadap angkutan massal agar tidak terjadi penularan virus Covid-19 di angkutan massal,” terang Kepala BPTJ, Polana B. Pramesti.
Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi calon penumpang saat menaiki angkutan massal di masa pandemi adalah menggunakan double masker, memakai baju lengan panjang, suhu tubuh di bawah 37,5 derajat, dan sudah melakukan vaksinasi minimal dosis pertama.
Transportasi Sehat dan Ramah Lingkungan
Kini manfaat penggunaan angkutan massal telah dirasakan tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga lingkungan. Angkutan massal yang terintegrasi memberikan kemudahan masyarakat untuk menuju lokasi tujuan. Tentunya, pengguna akan lebih menghemat pengeluaran bahan bakar jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Dengan beroperasinya moda Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) tersebut, akan terbentuk simpul baru sehingga menciptakan transfer point. Transfer point memberikan kemudahan bagi penumpang dalam berpindah moda sesuai dengan kebutuhan mereka.
Transportasi massal pun mendukung lingkungan lebih bersih dan sehat. Secara tidak langsung, masyarakat pengguna transportasi umum dapat membantu mendukung program mewujudkan lingkungan bersih dan sehat. Salah satunya adalah mengurangi tingkat kemacetan yang berdampak positif pada pengurangan polusi udara.
“Kita harus memikirkan transportasi berkelanjutan agar memiliki Co-benefit seperti: Buy The Service, dan menerapkan antarmoda yang bersih dan higienis. LRT dan BTS harus dimanfaatkan secara baik di kota-kota lain. Ditambah lagi Pertamina memberikan BBM yang ramah lingkungan maka lingkungan kota akan menjadi lebih baik,” jelas Budi Karya.
Harapannya, seluruh program yang telah didesain sedemikian rupa mampu menghasilkan sistem transportasi yang efektif, efisien biaya dan waktu, serta aman dan selamat untuk seluruh pengguna jasa transportasi. Dengan begitu, perekonomian kembali bangkit dan pembangunan nasional dapat terwujud sesuai dengan harapan bersama.
Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel
Hak Cipta Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat