Parameter berhasil atau tidaknya program angkutan umum sebenarnya bukan diukur dari untung ruginya perusahaan yang menyelenggarakan. Pasalnya, tidak ada perusahaan yang menyelenggarakan angkutan umum yang untung. Sebaliknya subsidi pemerintah harus semakin besar tergantung dari berhasil atau tidaknya program angkutan umum tersebut.
Parameter mengukur keberhasilan program angkutan umum adalah berpindahnya pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Oleh sebab itu, angkutan umum harus lebih menarik baik dari segi biaya, pelayanan maupun waktu tempuh.
Dengan demikian, pemerintah harus all out dalam membangun angkutan umum yang menarik, murah, nyaman, dan mudah diakses. Program BTS dapat dipastikan menghabiskan biaya lebih tinggi dari pendapatan tarifnya, sebab targetnya bukan pendapatan melainkan intangible cost berupa peningkatan keselamatan lalu lintas, kemacetan lalu lintas teratasi, berkurangnya penggunaan BBM, menurunnya pencemaran udara, menekan angka inflasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi kendaraan bermotor terus meningkat dengan cepat. Pertumbuhan ekonomi, perkembangan kelas menengah dan perubahan gaya hidup telah mendorong banyak orang untuk memiliki kendaraan pribadi.
Di sisi lain, ada keterbatasan lahan dan biaya tinggi serta keterbatasan ruang fisik yang terlalu sempit untuk menampung jumlah kendaraan yang meningkat pesat, telah menyebabkan sering terjadi kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas berdampak negatif, diantaranya waktu perjalanan yang meningkat, tingkat stres pengendara bertambah, pemborosan bahan bakar dan penurunan efisiensi bertransportasi.
Kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Polusi udara yang tinggi menyebabkan masalah pernapasan, iritasi mata, dan penyakit pernapasan kronis. Selain itu, polusi udara juga berkontribusi pada perubahan iklim global.
Dengan memprioritaskan dan meningkatkan sistem angkutan umum yang efisien, serta menyediakan insentif atau subsidi operasional dan infrastruktur yang diperlukan, maka pemerintah (termasuk pemda) dan masyarakat dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak negatif dari peningkatan jumlah kendaraan bermotor, kemacetan lalu lintas dan polusi di perkotaan.
Dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tertulis ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan. Angkutan massal yang dimaksud itu harus didukung mobil bus yang berkapasitas angkut massal, memiliki jalur khusus (busway), trayek angkutan umum yang lain tidak berhimpitan dengan trayek angkutan massal dan ada angkutan pengumpan mendekati hunian.
Capaian Kinerja
Pada tahun 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menginisiasi skema pembelian layanan (buy the service) yang dinamai Program Teman Bus. Program serupa juga dijalankan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dengan nama Program Bis Kita.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sejumlah daerah turut mengimplementasikan skema BTS sebagai stimulus angkutan umum perkotaan dengan jangka waktu yang ditentukan. Teman Bus di 10 kota, yaitu Medan (Trans Metro Deli), Palembang (Trans Musi Jaya), Bandung (Trans Metro Pasundan), Surakarta (Batik Solo Trans), Purwokerto (Trans Banyumas), Yogyakarta (Trans Jogja), Denpasar (Trans Metro Dewata), Banjarmasin (Trans Banjarbakula), Surabaya (Trans Semanggi Surabaya) dan Makassar (Trans Mamminasata). Sedangkan Program Bis Kita di Kota Bogor (Trans Pakuan).
Sejak beroperasi tahun 2020 hingga tahun 2023, DJPD Kemenhub telah mengucurkan anggaran biaya operasional BTS sebesar Rp1,5 triliun. Tahun 2020 sebesar Rp56,9 miliar untuk 5 kota. Tahun 2021 untuk 10 kota sebesar Rp292, 7 miliar. Dengan jumlah kota yang sama, tahun 2022 mendapat subsidi Rp550,9 miliar dan tahun 2023 Rp 625,7 miliar.
Persentase penumpang di 10 kota layanan Teman Bus terdiri dari 87,53% penumpang dengan tarif reguler/umum, dan 12,47% penumpang khusus dengan tarif Rp2.000. Penumpang khusus terdiri dari pelajar, lansia, dan disabilitas.
Terjadi penurunan penumpang sebesar 1,35% jika dibandingkan dengan Triwulan II dan terjadi kenaikan load factor sebesar 1,29% jika dibandingkan dengan Triwulan II. Penurunan penumpang terjadi di Kota Medan, Surakarta, Banjarmasin, Banyumas, dan Makassar. Penurunan yang terjadi disebabkan mulai diberlakukan tarif penumpang khusus per tanggal 1 Juli 2023 dari Rp0 menjadi Rp2.000 dan pemberlakuan 1 penumpang 1 kartu uang elektronik.
Kota dengan load factor di atas rata-rata, yaitu Kota Surakarta (bus), Yogyakarta, Bandung, Banjarmasin, dan Banyumas. Kota dengan load factor di bawah rata-rata, yakni Kota Denpasar, Medan, Palembang, Surakarta (feeder), Makassar dan Surabaya.
Capaian SPM
Rata-rata capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Triwulan III (Juli, Agustus, dan September) untuk 10 kota berada di angka 99,91%. Rata-rata capaian SPM pada Triwulan II (April, Mei dan Juni) sebesar 99,98%.
Terjadi penurunan capaian SPM sebesar 0,07% jika dibandingkan dengan Triwulan II. Kota dengan capaian SPM di atas rata-rata adalah Kota Bandung, Banyumas, Makassar, dan Surabaya. Sedangkan kota dengan capaian SPM di bawah rata-rata, yakni Kota Denpasar, Palembang, Surakarta (bus dan feeder), Yogyakarta dan Banjarmasin.
Ada sejumlah kendala lapangan yang masih terjadi, seperti titik henti digunakan untuk berdagang dan parkir, rambu bus stop tidak layak dan hilang, ranting pohon menghalangi jalan, halte rusak/tidak layak, konflik dengan angkutan yang ada, vandalisme, jalan berlubang, pembangunan gorong-gorong, jalan sempit.
Statistik DJPD memperlihatkan sebanyak 72% yang sebelumnya menggunakan sepeda motor dan 23% memakai mobil pribadi beralih ke layanan BTS. Ini menandakan minat masyarakat menggunakan kendaraan umum cukup tinggi. Berdasarkan kategori pekerjaan, kalangan pelajar jadi yang tertinggi peminatnya dengan persentase 70%.
Sebanyak 78,14% pengguna BTS sangat puas terhadap pelayanan berdasarkan aspek yang terdiri dari keselamatan sebesar 82,85%, sistem pembayaran 80,03%, keamanan dan kenyamanan 77,95%, keterjangkauan 76,54%, operasional 76,46% dan aksesibilitas 75,43%. Aspek aksesibilitas menjadi area of improvement utama, yaitu terkait kondisi fasilitas pendukung (misal, trotoar, marka/rambu, lampu penerangan) untuk mengakses dari/ke halte terdekat.
Berdasarkan hasil survey kepuasan pelanggan periode Mei – Juni 2023 yang dilakukan terhadap 20.735 pengguna layanan BTS, biaya transportasi yang dikeluarkan oleh masyarakat menjadi lebih rendah setelah menggunakan layanan BTS. Mengindikasikan layanan BTS memberikan penghematan ongkos bertransportasi lebih dari 50% bagi pengguna.
Rekomendasi Jangka Pendek
Untuk jangka pendek, pemerintah perlu untuk melakukan revisi terhadap PM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum Perkotaan. Pemberian bimbingan kepada Pemerintah Daerah terkait pembentukan kelembagaan.
Mewajibkan agar menyusun kebijakan dalam rangka melanjutkan penataan angkutan umum perkotaan dan pemberian subsidi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Koordinasi antar kementerian/lembaga, khususnya Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong sektor transportasi umum. Penetapan peraturan fleksibilitas pengalihan operasional kendaraan lintas koridor.
Mendorong push and pull strategy, seperti peningkatan tarif parkir pada ruas jalan tertentu, regulasi penggunaan angkutan umum untuk Aparat Sipil Negara (ASN) pada hari tertentu, regulasi penerapan ganjil genap pada ruas jalan tertentu, kartu berlangganan, menetapkan standarisasi sistem pembayaran/e-ticketing, penetapan Service Level Agreement (SLA). Penetapan peraturan pergantian armada yang melebihi masa susut dalam BOK.
Sementara untuk jangka menengah, persiapan pembentukan kelembagaan Mitra Instansi Pemerintahan (MIP) dan persiapan skema handover dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.(*)
Klik tautan dibawah ini untuk berbagi artikel
Hak Cipta Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat